BPJS Dibubarkan Saja, Karena Melanggar Konstitusi
Oleh: Eddy Junaidi Dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) diwajibkan dan negara terlibat dalam menetapkan sanksi bagi yang bel...
Oleh: Eddy Junaidi
Dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) diwajibkan dan negara terlibat dalam menetapkan sanksi bagi yang belum bayar, sudah bertentangan dengan Undang-Undang, karena BPJS awalnya adalah sistem jaminan sosial. BPJS bukan lagi sebagai upaya pelayanan publik di bidang kesehatan (niat Undang-Undang tersebut), tapi kini menjelma menjadi perusahaan asuransi yang zalim dan banyak mudharatnya.
Misi yang ambigu antara misi sosial (subsidi dengan Penerima Bantuan Iuran) dan komersial sebagai asuransi menandakan negara tidak mampu mengelola sistem jaminan sosial sesuai substansi Undang-Undang No. 40 Tahun 2004.
Pengelolaan Buruk
Jika BPJS dikelola seperti ini lebih baik dikembalikan ASN (Aparatur Sipil Negara) dengan Askes, TNI-POLRI dengan Asabri, publik pekerja dengan Jamsostek di bidang kesehatan. Sistem jaminan kesehatan yang semula melalui Jamkesmas juga sudah baik dirumuskan ulang dengan solusi khusus atau dipisah secara manajerial agar tidak berimplikasi buruk terhadap pelayanan kesehatan masyarakat karena tidak adil kebijakan harganya dengan jasa rumah sakit dan perangkatnya.
Pemerintah sudah gagal mengelola sistem jaminan sosial dan eksesnya menimbulkan kegaduhan di ruang publik, dan terkesan mudharatnya lebih banyak.Sangat mengherankan jika sampai saat ini Direksi BPJS tidak diganti karena jelas-jelas gagal, tidak memenuhi harapan sistem jaminan sosial sesuai perintah konstitusi. Sistem jaminan sosial merupakan perwujudan Pasal 28 H mengembangkan sistem jaminan sosial negara (SJSN) pada Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Konstitusi memerintahkan sistem jaminan sosial pada Undang-Undang No.40 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.24 Tahun 2011 tentang BPJS, hak warga negara berubah menjadi kewajiban warga negara berbasis iuran (asuransi).
Sanksi dengan Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013, akan efektif diberlakukan pada Januari 2020 semakin menyimpang dari perintah konstitusi. Ambiguitas ini terkesan pemerintahan Joko Widodo tidak mantap visinya dalam pengelolaan BPJS.
Pemerintah Ambigu
Data dari Direksi BPJS tahun 2018, jumlah peserta mencapai 196,4 juta orang, dan dari jumlah tersebut 92,2 juta jiwa (47%) adalah PBI (Penerima Bantuan Iuran) subsidi karena dianggap miskin berdasarkan Keputusan Menteri Sosial No.146 tahun 2013, dengan 14 kriteria orang miskin. Data ini bertentangan dengan data BPS (Badan Pusat Statistik) tentang jumlah orang miskin sebanyak 25,95 juta orang, sementara pada APBN subsidi (PBI) terhitung 96,8 juta orang miskin.
Peningkatan ini menjadi terkesan ambigu sikap pemerintah dalam menyikapi data orang miskin. Secara politik diakui data orang miskin hanya 9,8% atau 25 juta orang.
Sementara untuk pemenuhan anggaran Kementerian Sosial dan BPJS diakui 96,8 juta orang. Siapa yang bertanggung jawab terhadap selisih data yang mencapai 70,8 juta jiwa ini. Padahal Joko Widodo pada 26 April 2016 di Istana Negara dengan tegas menyatakan untuk basis data pegangannya hanya satu, yakni BPS.
Hal ini juga mungkin pemerintah tidak reaktif ketika baru-baru ini BPS menilai bahwa Indonesia tergolong negara dengan penduduk miskin terbesar. Jika PBI berbasis data BPS tentu subsidi mengecil dan sistem jaminan sosial tidak terwujud.
Dengan peningkatan data riil tentang jumlah orang miskin subsidi melalui PBI pada tahun 2019 mencapai Rp 19,54 Triliun. Sudah waktunya memikirkan solusi permanen tentang persoalan BPJS.
Berbasis UUD 1945 tidak ada salahnya negara mensubsidi, tapi jangan di bawah naungan korporasi yang bervisi ambigu dan cengeng karena melibatkan negara dalam penerapan sanksi.
Total klaim BPJS tahun 2018 sebesar Rp 68,52 triliun, artinya jika dikonversi menjadi beban negara seperti tarif PBI Rp 23.000 per jiwa. Jika dikalikan dengan basis 250 juta orang dikalikan 12 bulan setahun, setara dengan klaim BPJS tahun 2018. Jika ditanggung negara dengan standar layanan sama semua rakyat Indonesia terlayani dan bagi yang ingin di luar standar layanan PBI bagi yang mampu baru berlaku kelas sesuai azas kapitalisme.
Nafas UUD 1945 harus dihidupkan
Politik Indonesia saat ini yang nyaris tanpa oposisi menyerahkan kedaulatan pada Oligarki. Oligarki tidak akan bisa diputuskan tanpa revolusi, karena kekuasaan bagi mereka seperti arisan kekuasaan, yang penting agenda dan kepentingannya sama.
Revolusi menjadi keniscayaan jika ada kehendak untuk berubah. Oligarki adalah implikasi dari kapitalisme yang mengakar. Jika Oligarki diputus, kapitalisme akan melemah. Secara substansi dan strategis Indonesia harus kembali pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kegagalan BPJS, karena agenda sosialisme pada UUD 1945 dibajak oleh kapitalisme sehingga sistem jaminan sosial diubah menjadi asuransi. Celakanya, BPJS yang korporatif ditumpangi oleh kepentingan negara (PBI) sehingga tujuan sosial dan komersial BPJS saat ini menjadi sama-sama gagal.
Seharusnya subsidi negara untuk orang miskin ditangani oleh lembaga pelayanan publik nirlaba, seperti Perum atau Perjan (BUMN) di era Orde Baru. Dengan konsep seluruh rakyat Indonesia dilayani dengan tarif Rp23.000/orang per bulan menjadi adil bagi rakyat Indonesia.
BPJS untuk yang mampu, silahkan menyesuaikan tarif karena secara basis pemerintah sudah mensubsidi sebagian layanan kesehatan tanpa terkecuali.
Sementara asuransi BPJS Kesehatan saat ini berorientasi komersial. Eksesnya hancurnya cash flow Rumah Sakit yang ditunggaki tagihan BPJS tidak bisa dihindari. BPJS saat ini bukan solusi, tapi menimbulkan kegaduhan baru. Direksi BPJS gagal, terlihat dari cara mereka menjawab pertanyaan DPR saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa hari lalu.
BPJS direvitalisasi dan dituntut adanya kejelasan dalam status pengelolaan dana PBI untuk membedakan mana yang murni sistem jaminan sosial, dan mana layanan komersial selayaknya asuransi. Jika tidak, bubarkan saja, kembalikan fungsinya masing-masing seperti sebelum melebur dengan BPJS.[]