Diare atau Pneumonia Penyebab Kematian Tertinggi, Pemerintah Harus Tambah Anggaran Pencegahan

Surabayapos.Com - Tingginya penderita Pneumonia pada Indonesia menjadi bahasan pada diskusi yg digelar oleh Jurnalis Sahabat Anak yang mengan...

Surabayapos.Com - Tingginya penderita Pneumonia pada Indonesia menjadi bahasan di diskusi yang digelar sang Jurnalis Sahabat Anak yg mengangkat tema "Menebar Aksi Melawan Pneumonia" pada Hotel Kampi pada Surabaya, Rabu (28/8/2019).

Tercatat, Indonesia masuk 10 akbar nomor tertinggi kematian bayi, atau sama menggunakan 3 bayi mangkat dunia setiap jamnya. Indonesia jua tercatat tertinggi buat penderita Pneumonia, tepatnya di angka 54. Pneumonia sebagai ancaman berfokus pada Jawa Timur, penyakit yang seringkali menyerang balita ini menempati peringkat kedua penyebab kematian sehabis diare.

Hadir di program itu sebagai nara asal, Dr. Muhammad Attoillah Isfandiari, dr, M.Kes merupakan pakar Epidomologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair Surabaya. Kemudian, jua hadir Kepala Dinas Kesehatan Jatim dr Kohar Hari Santoso.

Dr Kohar menuturkan, serangan Pneumonia paling poly dialami balita dengan rentang usia dibawah 5 tahun. Banyak faktor yang mensugesti, pola hidup bersih & kebersihan lingkungan.

"Ada banyak faktor yg mempengaruhi. Lingkungan dan kesadaran rakyat pada tahu upaya preventif, itu harus bisa ditingkatkan," kata Dr Kohar.

Sepanjang tahun 2018 Pneumonia pada Jatim mencapai 92.913 itu terserang dalam anak pada bawah usia lima tahun. Sementara penderita di atas 5 tahun ada 32.910 orang.

Sepanjang 2018, data di Dinas Kesehatan Jatim tercatat penderita Pneumonia tertinggi ada di bulan Maret, sebesar 9.116 orang. Februari ada sebesar 8.392 orang, Januari sebesar 8.195 orang pasien.

Dr. Muhammad Attoillah Isfandiari, dr, M.Kes, mengatakan, upaya preventif harus bisa dilakukan buat menekan jumlah serangan Pneumonia.

"Salah satu cara yg sanggup dilakukan seluruh pihak merupakan menggunakan menyadari dan memahami pentingnya imunisasi," kata Dr Attoillah.

Dengan upaya Preventif yg aporisma, maka porto yang dimuntahkan buat menjaga kesehatan jauh lebih murah. Sebaliknya, buat penanganan akan memakan biaya tinggi.

Cara sederhana untuk mengantisipasi merupakan membiasakan hidup, menjaga kebersihan lingkungan termasuk meminimalisir tingginya polusi.

Sementara, Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa, Tubagus Arie Rukmantara menyampaikan, pemerintah wajib lebih poly mengalokasikan anggaran buat pencegahan penyakit menular, seperti Pneumonia.

"Dibandingkan dengan kalau telah sakit & wajib berobat, maka biaya yg wajib dikeluarkan oleh pasien akan jauh lebih besar . Maka dari itu tindakan pencegahan sangat sempurna," terang Tubagus Arie.

Namun, semua pihak mengetahui apabila alokasi aturan buat preventif masih kalah porsinya dibanding upaya pengobatan. Baik untuk membeli obat memakai iuran pertanggungan swasta, juga yg dijamin program BPJS.

Senada, Dr. Dr. Dominicus Husada SpA.K. Yang juga Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim, setuju pula menyoroti masih minimnya dukungan pemerintah dalam upaya pencegahan penyakit menular.

"Kalah dibanding dengan membayar BPJS buat mengobati yg sudah sakit. Karena pencegahan itu hasilnya nir terlihat. Padahal buat investasi di masa depan, nilai anak-anak yg kebal dari serangan penyakit menular ini jauh lebih menguntungkan dibanding menggunakan anggaran yg dimuntahkan untuk BPJS," ujar Dr. Dominicus.

Dia menambahkan, meski begitu pemerintah tengah berupaya menambah satu jenis imunisasi buat penyakit menular pada Indonesia itu.

"Saat ini belum diputuskan, apakah memasukkan imunisasi buat Diare atau Pneumonia. Keduanya merupakan penyebab kematian tertinggi anak pada Indonesia. Ini masih alot dan tarik ulur," terang Dr. Dominicus.(tji)