Karena Covid-19, sopir dipecat dan berjalan kaki 400 kilometer: 'Daripada sekarat di Jakarta, saya nekat jalan kaki ke Solo'
Seorang pria nekat berjalan kaki kurang lebih 400 km menurut Jakarta ke Jawa Tengah, setelah dipecat tanpa pesangon oleh tempatnya bekerja yg bangkrut akibat wabah virus corona.
"Saya memutuskan buat pergi pakai apa yg diberikan Allah, yakni ke 2 kaki saya menjadi alat trapsortasi kembali ke Solo," ujarnya. |
Dia menetapkan berjalan kaki juga dilatari kegagalannya pulang kampung menggunakan kendaraan generik karena kebijakan larangan mudik.
Tadinya ia telah bertekad untuk jalan kaki sampai ke Solo, kota asalnya, tetapi mendapat donasi waktu tiba di Batang, Jawa Tengah.
"Saya cuma terdapat 2 pilihan, bertahan akan tetapi sekarat di Jakarta tanpa ada bantuan apa pun atau pergi ke Solo," kata Maulana Arif Budi Satrio, 38 tahun.
Dengan berjalan kaki, Rio- panggilan akrabnya - meninggalkan Cibubur, pada pinggiran Jakarta, pada 11 Mei lalu & tiba di perbatasan antara Batang dan Kendal di Gringsing, 13 Mei 2020.
Setiap harinya, demikian pengakuannya, dia berjalan kurang lebih 100 kilometer dengan berjalan selama 12-14 jam.
"Sepatu aku masukan kresek & aku berjalan gunakan sandal jepit ini lantaran lebih nyaman," ungkapnya.
Dia nekad berjalan kaki sesudah tempatnya bekerja, yaitu sebuah perusahaan bus wisata, memecatnya dan sejumlah karyawan lainnya.
'Saya diberitahu dipecat dalam 8 April'
Ini dilakukan selesainya perusahaan tersebut bangkrut akibat terdampak wabah virus.
"Saya diberitahu (dipecat) lepas 8 Mei kemudian pukul 11 siang." Rio tidak mampu melupakan tanggal tadi - hingga sekarang.
Kepalanya makin pening tidak karuan, karena pemecatan itu nir disertai gaji terakhir, THR maupun pesangon. "Saya pasrah akhirnya," akunya kepada wartawan pada Solo, Fajar Sodiq.
Kenyataan ini, tentu saja, membuatnya terhimpit. Tanpa penghasilan, menurutnya, sangat sulit untuk bertahan hidup pada Jakarta.
Lagipula, ayah satu anak ini tak mampu mengharap donasi sosial dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, lantaran beliau tak mempunyai KTP DKI Jakarta. "KTP saya Solo".
"Saya cuma terdapat 2 pilihan, bertahan akan tetapi sekarat pada Jakarta tanpa terdapat bantuan apa pun atau pulang ke Solo," Rio mengingat lagi apa yang di benaknya saat itu.
Tanpa banyak pertimbangan, beliau tetapkan buat mudik ke kampung halamannya, Solo, Jawa Tengah.
Tetapi ini nir gampang karena Jakarta sudah mberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Saya sudah mencoba (naik kendaraan umum), tapi mental semua, karena di jalur tol ada check point dan disuruh balik ke asal," ujarnya, getir.
'Saya istirahat tidur di POM bensin'
Setelah gagal mudik dengan angkutan generik maupun kendaraan beroda empat pinjaman, beliau memilih jurus pamungkas, yaitu nekat berjalan kaki.
Usai salat Subuh, Sabtu, 11 Mei, Rio tetapkan meninggalkan Cibubur dengan berjalan kaki seseorang diri.
"Saya memutuskan buat pergi pakai apa yg diberikan Allah, yakni ke 2 kaki saya menjadi alat trapsortasi kembali ke Solo," ujarnya.
Meskipun hanya dengan berjalan kaki, Rio mengaku sangat menikmatinya.
Dia pun mengaku permanen berpuasa meski harus berpanas-panasan jalan kaki.
"Saya istirahat di tempat makan atau SPBU pada malam hari," pungkasnya.
Pada hari pertama, beliau berhasil menempuh bepergian dari Cibubur hingga perbatasan Karawang-Pamanukan, Jawa Barat.
"Pada hari pertama itu saya sampai Jatisari di perbatasan Karawang dengan Pamanukan itu sekitar jam 02.00 WIB. Saya numpang istirahat direst area truk Jatisari," ujarnya,
Rio pulang melanjutkan bepergian hari kedua dalam pukul 06.00 WIB menggunakan menyusuri jalanan dari Jatisari hingga Losari.
Namun selama perjalanan itu, tempat tinggal makan yang umumnya sebagai tempat pemberhentian bus pariwisata, tutup semua.
"Saya akhirnya istirahat di SPBU Losari lantaran rencana mau berhenti pada tempat tinggal makan Kondang Roso dalam malam hari, ternyata, seluruh tempat tinggal makan tempat pemberhentian bus wisata tutup, nggak ada yang buka," ujarnya.
'Saya bersandal jepit karena nyaman'
Selama berjalan kaki menyusuri jalur Pantura (pantai utara pulau Jawa), Rio hanya berbekal dua tas, yakni tas gendong yang berisi sandang dan tas selempang.
Sementara taskresek yang digantungkan di depan berisi sepatu miliknya.
"Sepatu aku masukan kresek & aku berjalan gunakan sandal jepit ini lantaran lebih nyaman," istilah Rio sambil memberitahuakn sandal jepit berwarna kuning yang masih dipakainya.
Setiap hari dia mengaku bisa berjalan kurang lebih 100 kilometer menggunakan berjalan selama 12-14 jam.
Pengalaman yang menguras tenaga, ujarnya, waktu melintasi jalur Karawang Timur sampai Tegal, karena pada jalur tadi "hawanya begitu panas menyengatdanquot;.
Tak pelak, kulitnya pun semakin terbakar. "Kulit aku sebagai hitam legam," Rio terkekeh.
"Cuaca mulai berangsur agak adem saat memasuki Brebes & Pekalongan," tambahnya.
Mengapa Rio menggakhiri aksi jalan kaki di Kota Batang?
Rio mengakhiri aksi jalan kaki dalam ketika hari keempat sesudah memasuki perbatasan Batang-Kendal pada Gringsing, Jawa Tengah.
Pada waktu itu uang bekalnya sudah menipis.
Dia jua merasa ketar-ketir lantaran mendengar kabar bahwa akses menuju Semarang "diperketatdanquot;.
Alhasil, sebagai anggota asosiasi Pengemudi Pariwisata Indonesia (Peparindo), beliau lalu tetapkan meminta bantuan rekan-rekannya buat sanggup membawanya ke kota Semarang.
"Saya di situ sudah kehabisan bekal dan ada informasi mau masuk razia dicheck point Mangkang, Semarang. Katanya ketat banget," kata Rio.
"Saya terus minta bantuan rekan-rekan dari Peparindo Pusat untuk membantu saya membawa ke Solo. Sayadimarahin semua karena aksi mudik jalan kaki itu."
Pengurus Peparindo Pusat lalu berkoordinasi menggunakan Peparindo Korwil Jawa tengah, dan akhirnya beliau dijemput menuju Semarang.
Di kota itu dia istirahat, mandi dan makan.
'Saya menentukan tidur, ini kayak dendam'
Keesokan harinya, beliau lalu diantar pergi ke Solo, dan kemudian ditempatkan di lokasi karantina yang disediakan pemkot Solo, yaitu pada Grha Wisata Niaga.
"Saya tiba di karantina ini dalam lepas 15 Mei 2020 kurang lebih pukul 08.00 WIB. Setelah dilakukan inspeksi kesehatan & pendataan, terus saya masuk," akunya.
"Makannya lezat & terjamin. Semuanya sudah misalnya keluarga pada sini. Pokoknya Pak Wali Kota Solo sangat memanusiakan para penghuni karantina di sini," Rio menebar senyum.
Setelah menghuni karantina, beliau mengisi hari-harinya dengan "tidurandanquot;.
"Ini semacam dendam," dia kembali tertawa.
Dia mengaku baru terasa pegal dan linu pada bagian kakinya.
"Kaki aku masih terasa pegal padahal ini sudah dikasih obat sang petugas medis pada sini."
Rencananya sehabis menjalani karantina selama 14 hari, Rio akan pergi ke tempat tinggal orangtuanya di tempat Pasar Gede Timur, Kelurahan Sudiroprajan, Solo.
Sedangkan mengenai pekerjaan, ia mengaku akan menenangkan diri terlebih dahulu pada Solo.
"Setelah masa karantina selesai akan pulang ke tempat tinggal pada Sudiroprajan. Kemudian, aku akan ziarah ke makam kedua orangtua saya yang dimakamkan pada Bonoloyo," ungkapnya.
Source: BBC Indonesia